Sejarah mencatat, Indonesia telah mengalami tiga fase pemerintahan yang dikenal dengan sebutan orde lama, orde baru, dan orde reformasi.
Soekarno adalah representasi orde lama, sedangkan Soeharto menyebut rezimnya sendiri sebagai orde baru, dan terakhir orde reformasi yang masih kita jalani 18 tahun terakhir ini.
Banyak dari kita, terutama generasi muda yang tak paham dengan sejarah pemimpin terdahulu. Salah satu yang terpenting adalah mengetahui faktor apa yang melatari terpilihnya presiden.
Mengapa penting? Karena dengannya kita bisa mengambil pelajaran tentang preferensi kepemimpinan di setiap zaman. Bagaimana psikologi rakyat dan wakil rakyat dalam memilih presiden, seperti apa tipikal presiden, dan paling utama bagaimana proses sejarah yang melatarinya.
Sebelumnya telah diulas dengan tuntas alasan di balik terpilihnya presiden Soekarno. Kini tiba giliran untuk menguliti sejarah presiden kedua, serta alasan bagaimana Soeharto bisa terpilih.
Kita mengetahui, bahwa Pak Harto adalah presiden terlama Indonesia yang menjabat selama 32 tahun, semuanya terpilih lewat MPR (MPRS) sebanyak 7 kali.
Namun, sebetulnya hanya ada dua kondisi yang berbeda dari total 7 kali itu. Yakni masa transisi dari dari orde lama ke orde baru dan sisanya masa dominasi Golkar.
Untuk tulisan pertama, akan kita urai alasan terpilihnya Soeharto menjadi presiden pada masa transisi dua orde. Simak ulasannya!
Persaingan TNI AD dan PKI Kian Meruncing
Pasca perawatan presiden Soekarno dari penyakit ginjalnya di Austria, santer terdengar kabar bahwa usia Bung Karno tak lama lagi. Bola panas pun bergulir, PKI dan TNI AD adalah dua pihak paling berkepentingan dengan peralihan kepemimpinan Soekarno.
PKI yang sudah mendekat ke Soekarno terobsesi untuk merebut posisi presiden, sedangkan TNI AD berkepentingan untuk melindungi negara dari usaha PKI meng-komunis-kan Indonesia.
Titik konfrontasi pecah pada peristiwa G30S/PKI. PKI mengambil tindakan nekat dengan membunuh semua jenderal teras AD, kecuali A.H Nasution dan Soeharto.
Jenderal Soeharto pun tampil mengambil alih TNI AD untuk mengendalikan situasi dan menggagalkan kudeta PKI. Dari situlah titik tolak nama Soeharto mulai mencuat dan akhirnya diangkat MPRS menjadi presiden.
G30S/PKI dan Keengganan Jendral A.H Nasution
Pasca gugurnya Panglima Angkatan Darat Jendral Ahmad Yani pada peristiwa G30S/PKI, tersisa dua jenderal tertinggi di kubu anti PKI dan bukan loyalis Soekarno, yaitu Menteri Pertahanan/Kepala Staf ABRI A.H Nasution dan Panglima Kostrad Mayjend Soeharto.
Jenderal A.H Nasution yang saat itu terluka kakinya, lebih banyak berperan di balik layar dalam operasi menggagalkan kudeta G30S/PKI. Beliau memerintahkan Jenderal Soeharto, Jenderal R.E. Martadinata, dan Jenderal Joedodihardjo untuk melakukan sejumlah operasi, dengan Soeharto sebagai kepala operasinya.
Setelah G30S/PKI berhasil ditumpas dan keadaan terkendali pada 3 oktober 1965, para perwira AD mendorong A.H Nasution untuk mengambil alih kontrol kepemimpinan. Namun Jenderal Nasution tampaknya ragu-ragu untuk melangkah, karena masih dirundung duka atas kematian putrinya Ade Irma (korban G30S/PKI).
Karena kondisi yang butuh segera tindakan cepat, perwira AD mengalihkan dukungan kepada Mayjend Soeharto. Nasution juga mendukung Soeharto dan mendesak Soekarno agar menunjuk Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat.
Seiring berjalannya waktu, Soeharto jadi lebih menonjol dan meraih simpati rakyat luas setelah membersihkan PKI di ibukota. Jenderal Nasution yang lalu menjadi ketua MPRS, akhirnya mengangkat Soeharto sebagai Presiden pada 12 Maret 1967.
Sehati dengan Mayoritas Rakyat Soal Pembersihan PKI
Kemarahan rakyat, pelajar dan mahasiswa atas kudeta PKI, dimanfaatkan dengan baik oleh Soeharto untuk menggalang dukungan atas dirinya. Soekarno yang tetap kukuh untuk mempertahankan PKI dalam konstelasi politik, semakin kehilangan hati rakyat.
Soeharto tentu saja diuntungkan dengan posisi tawar yang lebih kuat: dukungan rakyat dan pasukan AD. Dengan posisi seperti itu, Soekarno perlahan kehilangan kekuasaan secara de facto walau masih menjabat presiden.
Legitimasi Supersemar dari Soekarno
Menjadi Panglima AD pada 14 oktober 1965, Soeharto mengungkapkan bahwa ia cukup bersabar membujuk Soekarno agar mau membubarkan PKI. Namun Soekarno tak bergeming tetap teguh dengan prinsip Nasakomnya.
Di tengah memburuknya situasi politik di ibukota, hingga Soekarno diungsikan ke Bogor, Soeharto meminta diberi kewenangan oleh presiden untuk mengamankan situasi. Turunlah surat yang kita kenal dengan sebutan “Surat Perintah 11 Maret” (Supersemar).
Isi Supersemar adalah wewenang mengambil tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan, ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi.
Namun oleh Soeharto, wewenang itu lalu ditafsirkan juga sebagai celah untuk membubarkan PKI beserta underbouw-nya.
Tak berselang lama, Supersemar dikukuhkan oleh MPRS untuk memberikan jaminan kepada Soeharto, bahwa setiap saat Soeharto bisa menggantikan presiden apabila presiden berhalangan.
Pasca ditolaknya pidato pertanggungjawaban Soekarno oleh MPRS, Soeharto yang memegang mandat Supersemar dilantik menjadi pejabat presiden pada 7 maret 1967.
Kita lanjutkan pembahasan ke: Masa Kelanggengan Orde Baru.