Belum lama ini, ada seorang teman curhat. Dia mengeluh tentang pekerjaannya di kantor. Dia bilang bosan, capek dan rasanya ingin berhenti saja dari pekerjaannya yang sekarang.

Saya tanya kenapa bisa begitu?

“Andaikan saja gajiku tidak segini, dan naik dua kali lipat, aku pasti akan semangat untuk bekerja, dan aku pasti akan memberikan yang terbaik untuk perusahaan. Lha… sekarang, ngapain capek-capek kerja keras, tidak sepadan dengan gajiku yang cuma sedikit.”

Saya cuma diam mendengar jawabannya. Ya, aku tahu orang kerja itu pasti capek, dan terkadang juga timbul rasa bosan, apalagi bila kita merasa apa yang didapatkan kurang “memadai” dibanding kerja keras kita.

Tapi, apakah benar, bahwa kita harus dibayar dua kali lipat dulu, baru kita semangat dan akan memberikan yang terbaik dalam pekerjaan kita? Dari obrolan itu, aku mendapat inspirasi untuk membuat tulisan ini. Karena menurutku ada yang “salah” dengan prinsip yang diajukan oleh temanku tadi.

(Kepada teman baikku yang aku maksud, mohon maafkan, bukan aku menyalahkan, aku hanya sekadar bertukar pikiran dan pendapat, seperti yang biasa kita lakukan, setuju kan?)

Memang dalam kehidupan sehari-hari, cukup banyak kita menemukan orang-orang yang berprinsip seperti teman saya tadi. Bahkan saya juga terkadang suka berpikir seperti itu. Yaitu, bahwa kita baru akan memberikan sesuatu yang “baik”, jika kita telah menerima “bayarannya”.

Prinsip seperti ini, kita bisa temukan hampir di setiap bidang. Baik di perusahaan, birokrasi, organisasi-organisasi, sampai kepada hubungan antar sesama. Bahkan, aku sering mendengar, seorang laki-laki berkata tentang kekasihnya: “Aku akan setia kepadanya, kalau dia juga setia sama aku”. Semua terdengar senada; bahwa kita harus menerima lebih dulu, baru kita akan memberi!

Seorang karyawan baru akan bekerja dengan baik, jika gaji dan tunjangannya naik. Seorang pemimpin baru akan memperhatikan bawahannya jika bawahannya “memberi” sesuatu terlebih dulu.

Seorang suami akan memperhatikan kebutuhan istrinya, jika telah mendapatkan “pengabdian tulus” dari istrinya.

Semua anggota sebuah organisasi ngotot mendapatkan “jatah” terlebih dahulu, baru kemudian bersedia memberi kontribusi yang berarti untuk organisasi itu.

Apa jadinya kehidupan ini jika kita semua berpikir seperti itu? Saya yakin jika terjadi demikian, tidak akan ada kemajuan yang tercipta, tidak akan ada inovasi dan kreatifitas yang muncul, tidak ada inisiatif demi sebuah perbaikan.

Kita memang sudah terlanjur terbiasa dengan prinsip demikian, sampai-sampai ada sebuah istilah yang sangat populer dalam hal hubungan antar sesama: “TAKE AND GIVE!” Take dulu, baru Give.

Menerima dulu, baru memberi.

Sayangnya, hukum alam tidaklah demikian!

Jika kita ingin menerima, kita harus memberi lebih dulu.

Jika kita ingin dihormati, kita harus lebih dulu menghormati orang lain.

Jika kita ingin dibayar lebih mahal, kita harus bekerja dulu lebih baik.

Jika kita mau mendapatkan pengabdian sang istri, kita harus lebih dulu menyayangi dan memperhatikan kebutuhannya dengan baik.

Dan seterusnya. Tidak bisa, sampai kapanpun, hukum ini tidak bisa dibalik.

Bukankah, kita selalu dianjurkan untuk menjadi “tangan yang diatas”?

Bukankah itu berarti kita harus memberi terlebih dahulu, kemudian baru kita menerima?

Untuk itu, mari kita, sejak sekarang belajar untuk selalu berusaha memberi yang terbaik, lalu kita meyakini bahwa pasti kita akan menerima hasil yang terbaik kemudian.

Kita rubah “take and give”, menjadi “give and take”. Hanya dengan cara ini, kita akan mendapatkan kebahagiaan yang sempurna, kesuksesan yang sesungguhnya, dan keberkahan dalam hidup yang tiada tara.

Jadi bagaimana saudaraku?

Pilih “take and give” atau “give and take”?

Salam.