Pada zaman dahulu kala ada seorang yang akrab dengan seorang murid yang masih terbilang muda. Bahkan ke mana pun sang guru pergi sang murid ini selalu diajaknya. Hal ini membuat murid-murid senior merasa iri dengannya.

Mengetahui hal ini sang guru mengambil kebijaksanaan dengan membeli beberapa burung. Kemudian burung ini dibagikan kepada murid-murid senior dan juga murid junior tadi.

Sang guru memerintahkan kepada semua muridnya untuk menyembelih burung tersebut. Namun dengan satu syarat, yaitu tidak boleh ada seorang pun yang boleh melihatnya ketika menyembelih burung tersebut. Setelah beranjak agak lama murid-murid senior pun pulang menyerahkan burung-burung yang telah tersembelih.

Akan tetapi murid junior ini merasakan bingung mondar-mandir kesana kemari sambil membawa burung yang masih utuh dan masih hidup. Guru sufi ini mengumpulkan semua murid-muridnya dan memanggil murid tadi seraya berkata.

“Wahai muridku kenapa engkau tidak menyembelih burung ini. Apakah engkau akan mendurhakai perintah gurumu ini?

“Bukan begitu wahai guru, sebenarnya aku telah bersusah payah dan telah berjuang keras. Aku telah berusaha semaksimal mungkin untuk mencari tempat yang tidak dilihat oleh siapa pun. Namun selama itu pula aku tidak bisa menemukan tempat yang tidak ada seorang pun yang melihatnya. Maafkan aku wahai guru”, jawab sang murid dengan santun.

“Mengapa engkau tak menemukan tempat tersebut wahai muridku?”, tanya guru sufi.

“Di manapun aku ingin menyembelih burung ini ternyata Allah selalu melihatku. Sehingga aku tidak mampu lagi untuk mencari tempat yang luput dari pengawasan-Nya.” sahut murid ini dengan sopan.

“Bagaimana pendapat kalian?” tanya sang guru kepada murid-murid senior.

Kemudian murid senior ini tidak lagi merasa iri pada sang guru yang memilih murid ini sebagai murid pilihannya yang diberikan kehormatan oleh gurunya. Bahkan kini murid senior jadi lebih menghormati dan menghargai murid junior ini meskipun mereka lebih senior darinya.

Terlepas dari kebenaran hikayat di atas, kita bisa mengambil nilai hikmah dari kisah ini yaitu: di manapun kita berada kita tidak akan pernah luput dari pengawasan Allah SWT. Hal ini dipertegas lagi dengan ungkapan murid junior yang lulus dari sang guru sufi dengan mengatakan, “Di mana pun aku ingin menyembelih burung ini ternyata Allah selalu melihatku. Sehingga aku tidak mampu lagi untuk mencari tempat yang luput dari pengawasan-Nya”. 

Jika setiap orang sudah memiliki tingkat keimanan setinggi murid ini, maka tidak mungkin ada lagi korupsi. Karena di mana pun dan dengan cara apa pun kita tetap tidak akan mampu mengelabui Allah. Jika keimanan semua orang seperti murid junior ini, tidak mungkin ada lagi pemerkosaan, karena di mana pun kita berada kita selalu diawasi oleh Allah dan pasti kita akan malu untuk melakukan perbuatan maksiat.

Hikmah lainnya yang bisa kita ambil adalah sikap saling hormat dan menghormati antara murid junior dan murid senior harus lah diutamakan. Baik di lingkungan sekolah maupun pondok pesantren. Murid senior adalah kakak bagi juniornya, yang senantiasa membimbing dan mengajari juniornya ketika menghadapi masalah seperti budaya pondok pesantren.

Senioritas bukanlah sekat yang mengembangkan sifat dengki dan iri. Namun senior dan junior adalah sekat yang menandakan bahwa tanggung jawab masing-masing itu berbeda. Senior memiliki tanggung jawab yang lebih besar karena selain dituntut menjadi teladan bagi juniornya, juga dituntut untuk bisa membimbing dan mengajari serta membantu memecahkan masalah dari adik juniornya. Seperti diajarkan oleh guru sufi di atas, bahwa sifat iri antara senior dan junior haruslah dihapuskan dalam lingkungan pendidikan.