Ini adalah sebuah hikayat yang diceritakan dalam kitab Usfuriah yang banyak beredar di kalangan pesantren tradisional. Diceritakan bahwa pada suatu hari Khalifah Umar bin Khattab berjalan di kota Madinah. Pada saat itu Umar melihat anak kecil yang sedang bermain-main dengan seekor burung. Beliau pun merasa iba dengan burung tersebut. Kemudian Khalifah Umar membelinya dan melepaskannya ke udara.

Setelah Khalifah Umar wafat, ada seorang ulama yang bermimpi bertemu dengan khalifah Umar. Terjadilah percakapan antara mereka:

“Wahai Umar, apa kabarmu? Apa yang Allah lakukan padamu?” tanya sang ulama.

Khalifah Umar pun menjawab “Allah mengampuniku dan melewatkan dosaku.”

Sang ulama kembali bertanya, “Apa sebab Allah mengampunimu dan melewatkan dosamu? Apakah karena kedermawananmu, ataukah karena kezuhudanmu terhadap dunia?”

Khalifah Umar menggelengkan kepalanya seraya menjawab, “Ketika kalian menguburkanku, menutupiku dengan tanah lalu kalian meninggalkanku. Datanglah dua orang malaikat yang menakutkanku, akalku hilang, sendi-sendiku gemetar.  Dua orang malaikat itu mendudukkanku dan hendak menanyaiku. Akan tetapi tiba-tiba muncul suara tanpa sosok yang menghardik kedua malaikat tersebut, Tinggalkan hamba-Ku ini, jangan kalian takut-takuti. Aku menyayanginya dan dosa-dosanya telah Aku ampuni. Karena dia telah menyayangi burung pipit di dunia, maka pahalanya Aku sayangi dia di akhiratnya.”

Ini adalah sepenggal hikayat, terlepas kejadian ini benar-benar terjadi atau tidak, yang kaya akan nilai moral. Yakni bahwa kita harus menyayangi sesama makhluk ciptaan Allah. Jika menyayangi burung pipit yang kecil dan sering disepelekan saja, karunia Allah begitu besarnya, apalagi jika kita menyayangi sesama manusia; menyayangi saudara, terutama menyayangi ayah dan ibunda kita.

Bukankah Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Orang penyayang adalah orang yang disayangi Allah yang Maha Penyayang. Maka sayangilah makhluk di bumi, niscaya kalian disayangi Dzat yang di langit.” (HR. Abdillah ibn Umar).