Pada zaman dahulu, di sebuah perkampungan terdapat seorang penghafal Quran atau lebih dikenal dengan istilah hafidz. Hafidz Qur’an ini sangatlah miskin dan fakir sehingga dia mengadukan kemiskinannya kepada Allah SWT.
Setelah dia mengadukan kemiskinannya kepada Allah. pada malam harinya dia bermimpi bertemu dengan seorang lelaki yang gagah dan bertanya kepada dirinya.
“Maukah engkau aku beri uang seribu dinar namun dengan satu syarat. Engkau akan lupa dengan surat Al An’am.” Hafidz tersebut menolak.
“Bagaimana dengan surat Al-Hud saja yang lebih pendek?” Hafidz itu tetap menolak.
“Jika engkau melupakan surat Yusuf, maka aku akan memberi uang seribu dinar.” Hafidz ini tetap saja menolak.
Di dalam mimpi sang hafidz. Laki-laki itu menyebut hingga 100 surat, namun hafidz tersebut tetap saja menolak dengan menggelengkan kepala. Dia tidak sudi Al-Quran yang sudah dihafalnya itu segera lupa dan dijual dengan uang seribu dinar tiap suratnya.
Laki-laki di dalam mimpi itu kemudian berkata:
“Kalau demikian, berarti engkau masih memiliki sesuatu yang harganya 100 ribu dinar. Mengapa juga mengadukan kefakiran?”
Terlepas dari benar tidaknya hikayat di atas, kita bisa mengambil hikmah yang sangat berharga. Bahwa ayat-ayat Al-Quran yang sudah kita hafal memiliki nilai yang sangat mahal sehingga sang hafidz tidak sudi untuk menukar satupun surat yang sudah dihafalnya dengan uang seribu dinar.
Semakin banyak ayat yang kita hafal maka semakin banyak pula kekayaan yang kita miliki. Kehidupan terkadang memang tidak selalu seperti yang kita harapkan. Bahkan terkadang orang-orang yang salih justru hidup dalam kesederhanaan bahkan kekurangan duniawi.
Namun juga, kita bisa melihat betapa damai dan indahnya kehidupan mereka. Dari anak-anak yang shalih dan juga penuhnya waktu yang bisa mereka berikan kepada anak dan istri mereka. Bahkan tidak jarang jika mereka juga mengajari anak-anak tetangganya mengaji tanpa bayaran. Jika kita mau berfikir mereka lah orang-orang kaya yang sebenarnya.