Suatu hari, aku berjalan menyusuri gelapnya malam. Seperti biasa, Aku mencari tempat tongkrongan kopi seribu perak dan mendhoan khas Purwokerto. Langkah demi langkah menuntunku ke kedai kopi milik pak Lukman.
Suasana sedang ramai. Mahasiswa perantau asyik bercanda gurau bersama sesama perantau lainnya. Saling bertukar pikiran tentang keajaiban dunia. Salah satu mahasiswa itu menyebutkan beberapa keajaiban dunia yang tak pernah ku kunjungi sekalipun.
- Menara Eifel
- Taj Mahal
- Patung Kristus Penebus
- Tembok Besar Tiongkok
- Colosseum
- Piramida
- Tembok Cina
Terlihat ada seorang mahasiswa yang menunjukkan foto-foto tujuh keajaiban dunia itu kepada rekan-rekan sesama mahasiswa lainnya, sambil berkata, “kapan kita kesana? Ini sungguh tempat yang paling indah untuk membuat momen gila bersama-sama”.
Walaupun Dia bukanlah bicara kepadaku. Tapi, Aku sama sekali belum tertarik untuk mengunjungi tempat-tempat keajaiban dunia itu. Faktor uang dan faktor jarak yang jauhlah yang menjadi alasanku untuk belum memikirkan untuk melangkah ke sana.
Obrolan semakin hangat ketika segerombolan itu memilih-milih tempat mana yang nantinya akan dikunjungi oleh mereka. Si mahasiswa yang memamerkan foto tujuh tempat keajaiban dunia itu memperhatikan temannya yang pendiam, Fredi. Semua temannya bertanya, “Hey. Fred, Elu punya tempat favorit yang mana nih? Apa perlu gua bantu jawab salah satu dari tujuh keajaiban dunia ini yang bakal elu jadiin keajaiban yang favorit?”.
Fredi, si pendiam itu menjawab “Aku punya keajaiban yang favorit. Tapi aku engga bias memilih. Karena saking banyaknya”.
Teman-teman fredi bertanya, “Mana!!??”, dengan nada keras dan menertawainya.
Dengan penuh ragu, Fredi menjawab. “Tujuh keajaiban favoritku bukanlah gedung / tempat kuno megah yang ada di Negara lain sana. Tujuh keajaiban favoritku itu:
- Bisa Melihat
- Bisa Menyentuh
- Bisa Mendengar
- Bisa Menyayangi
- Bisa Merasakan
- Bisa Tertawa, dan
- Bisa Mencintai
Bukan hanya Aku yang tertegun mendengar ucapan itu. Semua orang yang ada di kedai – yang mendengar ucapan Fredi itupun terlihat ikut kagum dengan jawaban Fredi, si mahasiswa pendiam.
Alangkah mudahnya bagi kita untuk melihat pada eksploitasi manusia dan menyebutnya “keajaiban”.
Dibalik itu, Tuhan yang menciptakan karunia untuk kita. Karunia yang selalu kita gunakan dalam menjalani hidup ini, kita sebut sebagai barang “biasa”.
“Tuhan tak pernah menjanjikan langit senantiasa biru, seluruh jalan hidup dipenuhi bunga-bunga. Tuhan tidak menjanjikan matahari tanpa hujan, kebahagiaan tanpa kesedihan. Tapi Tuhan menjanjikan kekuatan untuk setiap hari, istirahat sesudah kerja, cahaya untuk menerangi jalan, rahmat untuk cobaan-cobaan, bantuan dari atas, simpati yang tiada henti, dan cinta yang tak pernah mati”. (Kristone)